» » » 4 Rakaat Ba’da Isya’ Senilai 4 Rakaat di Malam Lailatul Qadar

Di antara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum Muslimin saat ini adalah shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isya’.

Dalil

Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam; dan ketika itu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at…” (HR Al Bukhari no. 117)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata,
مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah (shalat) ‘Isya’, maka nilainya setara dengan empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr.” (HR Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya shahih)
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Empat raka’at setelah ‘Isyaa’ setara dengan empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr.” (HR Ibnu Abi Syaibah, no. 7352; sanadnya hasan)
Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata,
مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ ؛ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isya’ yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr.” (HR Ibnu Abi Syaibah, no. 7353; sanadnya hasan)
Dari Ka’b bin Mati’, ia berkata,
مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ، عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isya’ dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr.” (HR Ibnu Abi Syaibah, no. 7354; HR An Nasa’i no. 4895-4896, sanadnya hasan)
Keutamaan
Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr, meskipun sanadnya mauquf pada shahabat radliyallaahu ‘anhum, namun hukumnya adalah marfu’, karena di dalamnya tidak ada ruang ijtihad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya statement itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat Para Ulama
Imam As Sarkhasi dalam Al Mabsuth mengatakan, “Adapun shalat sunnah setelah ‘Isya’ adalah dua raka’at berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia shalat empat raka’at maka afdhal berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu secara mauquuf dan marfuu’ : ‘Barangsiapa shalat setelah ‘Isyaa’ sebanyak empat raka’at, maka baginya pahala senilai empat raka’at pada waktu Lailatul-Qadr.”
Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Shalat sunnah rawatib setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at. Apabila ia shalat empat raka’at, maka tidak mengapa, karena terdapat dalam hadits : ‘Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat empat raka’at sebelum beliau tidur’. Apabila seseorang melakukannya, maka tidak mengapa. Dan apabila ia meringkasnya dua raka’at, maka itulah shalat sunnah rawatib. Shalat sunnah rawatib yang senantiasa dijaga oleh beliau adalah : dua raka’at setelah ‘Isyaa’, kemudian tidur. Setelah itu bangun di akhir malam untuk melakukan shalat tahajjud. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau.”
Tatacara Melaksanakan
Menurut Ustadz Abu Al Jauza’, utamanya, shalat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjama’ah).” (HR Al-Bukhari no. 731)
Shalat sunnah tersebut dilakukan empat raka’at tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat sunnah malam dilakukan dua-dua.” (HR Al-Bukhari no. 991)
Posted: 27 Apr 2014 04:48 PM PDT
Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur’an sebagai orang-orang yang merendahkan diri.
Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’. Menurut Ibrahim An-Nakha’y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas.
Allah befirman,“Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah).” (Al-Hajj: 34).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Hud: 23).
Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada dua makna:
Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman”, seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih bemapas, maka ikhbat ini bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma’ninah maka hilanglah keraguraguan darinya.
Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ikhbat ini didasarkan kepada tiga derajat:
  1. Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.
  2. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguhsungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, “Kesendirian-mu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari.” Yang lain berkata, “Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa.”Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencarian-nya sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.
  3. Sama bagi dia saat mendapatpujianataupuncelaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya. Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mere-ka.
Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.
Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satusatunyajalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita. Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan mi-nyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara syetan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan sulit, ditambah lagi dengan ketakutan yang dihembuskan syetan, dan lemahnya hasrat dan niat orangyang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang.
Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah.
Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan syetan yang menakut-nakuti dan meraperingatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, ting-gal turun ke lerengnya.
“Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya”, artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.

About Unknown

Hi there! I am Hung Duy and I am a true enthusiast in the areas of SEO and web design. In my personal life I spend time on photography, mountain climbing, snorkeling and dirt bike riding.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply